Godaan di Ujung Kekuasaan
Gentra Jabar - Perkara kekuasaan memang selalu menjadi fokus utama masyarakat. Ini dikarenakan kekuasaan selalu hadir dalam kehidupan sosial. Masih tentang kekuasaan, ia kerap hadir dengan dua wajahnya. Di satu sisi, ia adalah sarana untuk melayani kepentingan masyarakat.
Namun, di sisi lain, kekuasaan juga bisa menjadi instrumen yang menyimpan godaan laten yang tak jarang menjerumuskan penggenggamnya kala mulai lengah. Sejarah manusia dari masa kerajaan kuno hingga negara modern, selalu menyuguhkan pelajaran berulang yang tidak dapat dihindari.
Dari banyak kasus, muncul peristiwa di mana para penguasa jatuh bukan karena kekurangan kecakapan, melainkan karena gagal mengendalikan diri saat berada di puncak. Tahta, wanita, dan harta adalah tiga hal yang kerap menjadi godaan klasik yang terus mengintai di ujung kekuasaan.
Ketiganya bekerja secara halus namun mematikan, merusak karir, mengubur nalar, dan mengaburkan etika. Pada akhirnya, sang pemilik kuasa ikut terkubur oleh kekuasaan yang digenggamnya tanpa sadar.
Dalam konteks politik kontemporer, godaan ini tidak hanya meruntuhkan individu yang hebat, tetapi juga mengguncang kepercayaan publik dan stabilitas negara. Ulasan ini berupaya mengajak pembaca menelusuri bagaimana ketiga faktor yang telah disinggung di atas menjadi ujian berat bagi para penguasa, sekaligus mengingatkan pentingnya menjaga amanah sebagai fondasi utama kepemimpinan yang bermartabat.
Ujian di Puncak Kekuasaan
Tahta, wanita, dan harta adalah tiga faktor klasik yang kerap menjadi batu sandungan bagi kehancuran karier politik seorang penguasa. Pertama, tahta atau kedudukan. Kekuasaan identik dengan hasrat untuk terus memerintah atau mendominasi sesuatu. Kekuasaan yang terlalu lama digenggam sering melahirkan ilusi keabadian dan rasa tak tersentuh hukum.
Barangkali atas alasan inilah seorang ahli sejarah, Lord Acton membuat pernyataannya yang hampir dijadikan kutipan wajib para kritikus politik. Lord Acton, singkatnya memandang kekuasaan cenderung korup, karena itu kekuasaan yang absolut pasti (berujung) korupsi secara absolut (power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely).
Tentang kecenderungan kekuasaan ini, ada fenomena menarik ini pada saat kejatuhan Raja Louis XVI di Prancis. Ia diduga gagal membaca gelombang ketidakpuasan rakyat, atau juga kasus kejatuhan Muammar Gaddafi di Libya yang terlampau mengonsolidasikan kekuasaan secara absolut hingga berakhir tragis.
Di Indonesia, ada terlalu banyak kasus kecenderungan berkuasa yang membuat si penggembang enggan menyudahi hasratnya. Ambisi mempertahankan tahta juga menjadi pelajaran pahit pada setiap rezim politik akhir yang tidak jarang berakhir dengan krisis legitimasi. Kedua, wanita atau hasrat seksual. Faktor kedua ini sudah bukan menjadi rahasia umum lagi. Skandal moral kerap menjadi pintu masuk kejatuhan politik.
Kasus Presiden Bill Clinton dengan skandal Monica Lewinsky menunjukkan bagaimana perkara personal dapat mengguncang institusi negara dan menggerus kewibawaan pemimpin dunia yang disegani sekalipun. Dalam konteks Indonesia, sejumlah pemimpin hingga pejabat publik kerap tersandung skandal asusila yang berujung pada kehancuran reputasi politik.
Hasrat yang tak terkendali bukan hanya soal moral pribadi, tetapi juga soal kepercayaan publik yang tercabik. Ketiga, harta atau korupsi. Akhirnya, faktor terakhir ini mengingatkan kita pada fenomena kejatuhan karir politik para politisi akibat dari praktik korupsi yang menjerat mereka.
Bahkan, korupsi ini telah menjadi faktor paling dominan dalam sejarah kejatuhan penguasa modern. Dari Ferdinand Marcos di Filipina hingga Hosni Mubarak di Mesir, adalah contoh dari akumulasi kekayaan melalui penyalahgunaan kekuasaan yang akhirnya menjadi pemicu runtuhnya sebuah rezim.
Di Indonesia bahkan kasusnya tidak terhitung lagi jumlahnya. Kasus Setya Novanto, Edhy Prabowo, Suryadharma Ali, Akil Mochtar, hingga Juliari Batubara, adalah beberapa contoh kecil dari seabrek kasus serupa yang pernah terjadi. Artiya, ketika kekuasaan dijadikan alat memperkaya diri, maka kehancuran hanya soal waktu.
Pentingnya Menjaga Amanah
Pelajaran sejarah sebagaimana telah disinggung di atas menegaskan satu hal mendasar bahwa kekuasaan bukan hak milik pribadi, melainkan amanah yang harus dipertanggungjawabkan. Ia tidak hanya tentang bagaimana melayani rakyat, tetapi juga mengabdi kepada nilai-nilai moral dan sejarah.
Seorang penguasa sejatinya sedang diuji untuk menjadi manusia yang memiliki wibawa, moralitas, dan intergitas. Karakter yang paling berat itu ketika sedang berada di puncak. Karenanya, semakin tinggi jabatan, semakin besar godaan, dan semakin berat pula tanggung jawab etik yang dipikul.
Menjaga amanah mensyaratkan pengendalian diri terhadap tahta. Kekuasaan harus dimaknai sebagai instrumen, bukan tujuan. Penguasa yang bijak harus paham kapan ia memimpin dengan ketulusan dan kapan harus memberi ruang regenerasi.
Jangan sampai ia tidak terjebak pada obsesi memperpanjang kekuasaan dengan mengorbankan prinsip demokrasi dan keadilan. Kesadaran akan keterbatasan diri menjadi benteng pertama dari penyalahgunaan wewenang. Terkait perkara moral dan integritas pribadi, penguasa dituntut menjaga martabat diri dan jabatan.
Kehidupan personal tidak bisa sepenuhnya dipisahkan dari tanggung jawab publik. Demikian, keteladanan moral adalah bahasa kepemimpinan yang paling efektif, karena rakyat akan menilai bukan hanya dari segi kebijakan yang dihasilkan, tetapi juga dari perilaku yang ditunjukkan ke publik.
Sementara itu, pengelolaan harta dan kekayaan harus dilandasi kejujuran yang tinggi disertai transparansi. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi pengkhianatan terhadap amanah yang diberikan rakyat.
Penguasa yang jujur dan amanah menyadari bahwa setiap rupiah uang negara adalah hak publik yang harus dikelola untuk kemaslahatan bersama. Pada akhirnya, kekuasaan yang dijalankan dengan penuh tanggung jawab akan meninggalkan legacy yang terhormat.
Sebaliknya, kekuasaan yang terjebak pada godaan tahta, wanita, dan harta hanya akan meninggalkan jejak buruk yang terus dikenang masyarakat. (Penulis adalah Direktur Eksekutif INISIATOR)
