Diam Sama dengan Berdiri Bersama Pelaku, Dugaan Pelecehan Seksual di SMKN 3 Cimahi
Gentra Jabar, KOTA CIMAHI — Kasus dugaan pelecehan seksual di lingkungan sekolah kembali mengguncang nalar publik. Kali ini, aroma busuk itu muncul dari tempat yang semestinya paling aman ruang belajar.
Ironisnya, predator justru bersembunyi di balik jubah pendidik orang yang seharusnya menjadi penjaga moral, bukan perusaknya.
Dikutip dari salah satu akun media sosial @Aliansipelajarcmh, keresahan siswa SMKN 3 Cimahi meledak lewat seruan lantang: “Tunjukkan tempat aman dari predator berjubah agama dan pendidik itu.” Sebuah kalimat yang seolah mengguncang benteng budaya diam yang selama ini melindungi pelaku.
Di bawah tagar against rape culture, para siswa menolak bungkam. Mereka menuntut transparansi, perlindungan korban, dan sanksi tegas bagi pelaku.
Tapi pertanyaan yang lebih besar menggantung di udara:
Apakah lembaga pendidikan siap berani menegakkan keadilan, atau justru sibuk melindungi reputasi?
Di banyak kasus serupa, pelecehan seksual di sekolah sering kali dibungkus dengan dalih menjaga nama baik institusi," ungkap Yusuf Selaku Pengamat Pendidikan.
Korban didorong untuk diam, pelaku hanya diberi skorsing atau dipindahkan, dan kasus pun menguap. Culture of silence inilah yang menjadi racun paling mematikan, korban dibiarkan terluka, sementara predator bebas mengajar seolah tak pernah berdosa.
Yusuf mengungkapkan " Ketika ketakutan lebih kuat dari keberanian, keadilan mati perlahan. Dan ketika lembaga pendidikan memilih diam, mereka berdiri di sisi yang sama dengan pelaku,"ujarnya.
Ia menegaskan "Kasus di Cimahi ini semestinya menjadi peringatan keras, perlindungan anak bukan sekadar jargon. Sekolah harus menjadi zona aman bukan ruang trauma baru. Mekanisme pelaporan harus dibuka lebar, bahkan dengan sistem anonim agar korban tak lagi takut bersuara,".
Pemecatan, atau sekadar skorsing, tak cukup untuk membuat jera. Yang dibutuhkan adalah kejelasan hukum, dukungan psikologis bagi korban, serta evaluasi total terhadap budaya dan sistem pengawasan sekolah," Ucap Yusuf.
Para siswa sudah menunjukkan keberanian dengan bersuara. Kini giliran institusi menepati janjinya sebagai rumah bagi masa depan.
Karena guru sejati bukan mereka yang mengajar dengan ketakutan, tapi yang melindungi dengan hati nurani.
Bagi para korban, pesan itu tetap sama,
Kalian tidak sendirian. Ini bukan salah kalian. Keberanian kalian adalah cahaya yang menyingkap gelapnya penyalahgunaan kuasa.
Ia menambahkan "Dan bagi kita semua masyarakat, orang tua, dan pendidik saatnya berhenti bersembunyi di balik rasa malu dan mulai menuntut akuntabilitas. Sebab, sekali lagi, diam sama dengan berdiri bersama pelaku,"tandasnya. **Redaksi
